Setiap kita pasti merasakan rindu. Rindu dengan atau atas apa saja yang pernah dekat dengan dirinya. Dalam psikologi, rindu sering disebut dengan homesick, sebuah kondisi naluriah yang dibutuhkan oleh seseorang akan kasih sayang, perlindungan dan rasa aman. Rindu menggiring seseorang kepada gelombang emosi atas hal-hal yang selama ini pernah menjadi pengalaman terdalam pada diri seseorang.
Rindu merupakan sebuah kata yang memiliki kekuatan yang tak terbantahkan dalam alam perasaan manusia. Ia adalah sebuah bentuk kerinduan yang dalam, sebuah keinginan yang membakar untuk kembali pada sesuatu atau seseorang yang telah lama hilang dari kehidupan kita.
Rindu mungkin datang dalam berbagai bentuk. Rindu akan rumah, di mana kenangan indah masa kecil menghantui pikiran kita, menghadirkan aroma kue ibu atau pelukan hangat ayah. Rindu akan kekasih, di mana setiap detik tanpa kehadirannya terasa seperti abad yang panjang, dan setiap kenangan bersamanya menjadi bahan bakar untuk menahan rindu yang tak terucap.
Namun demikian, dalam kerinduan yang mendalam ini, ada keindahan tersendiri. Ia mengingatkan kita akan pentingnya hubungan, cinta, dan kenangan yang telah kita bagikan. Ia mengajarkan kita untuk bersyukur atas momen-momen indah yang pernah kita alami, dan memberi kita harapan akan pertemuan kembali di masa depan.
Rindu, meskipun kadang menyakitkan, adalah pengingat akan kehidupan yang pernah kita miliki, dan juga harapan akan kehidupan yang akan datang. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan manusia, sebuah emosi yang tak tergantikan dalam keberadaan kita.
Dalam konteks beragama, rindu sesungguhnya adalah berjumpa dengan Tuhan. Rindu akan asal kehidupan manusia. Ini makna hakiki dari Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, sesungguhnya kita ini berasal dari-Nya, dan akan Kembali kepada-Nya.
Persoalannya adalah apakah kita rindu pada-Nya? Ada beberapa indikasi bila kita merasa rindu; Pertama, bergetar hati kita ketika mendengar nama orang atau sesuatu yang kita rindukan. Dalam konteks rindu kepada Allah ini, berarti ada getar dalam hatinya, Ketika disebut nama Tuhannya. Selaras dengan Firman Allah “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya… (Al-Anfal ayat 2).
Kedua, ada kedamaian ketika ia bertemu dengan hal-hal atau symbol-simbol yang berkenaan dengan sesuatu yang kita rindukan. Misalnya, Ketika kita merindukan kampung halaman kita, kemudian bertemu dengan orang-orang yang kebetulan berasal dari kampung yang sama, maka ada rasa damai dalam hatinya. Pun begitu bagi orang yang rindu kepada Tuhan. Ada rasa damai ketika ia berjumpa dengan sesama makhluq-Nya.
Jika kita semua meyakini bahwa manusia adalah makhluq Tuhan, yang berasal dari Tuhan, selayaknya mereka akan saling berbagi kebahagiaan, berbagi kedamaian, karena akan sama-sama akan Kembali kepada Sang Pencipta. Bukan sebaliknya, saling menebar rasa sakit, menuai ragam penderitaan bagi sesamanya.
Ketiga, orang yang rindu, tentu ada hasrat yang sangat kuat untuk bertemu dengan sesuatu yang dirindukannya. Adalah sesuatu yang paradoks, ketika Ia rindu, namun tidak ada keinginan untuk bertemu. Dalam konteks ini, orang yang rindu pada Allah, berarti ada keinginan yang kuat untuk berjumpa dengan-Nya.
Memang ada proses “menyakitkan” dalam hal ini. Hasrat yang kuat untuk berjumpa dengan Tuhan ini, harus melewati satu fase, kematian. Karena itu, orang yang rindu, kata Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali (wafat 505 H), berarti ia cinta kepada-Nya.
Maka, mari kita sambut rindu dengan hati terbuka. Biarkan ia mengalir dalam setiap helaan nafas kita, karena dalam rindu, kita menemukan kehidupan yang sejati, cinta yang abadi, dan makna yang mendalam.
Imam Hanafi, MA